Polos tingkahmu, ayu parasmu, tak kenal benci, apalagi memaki. Kalaulah ada kesalahan, tersebab karena engkau belum mengerti.
Bagimu waktu luang ayahmu adalah harta istimewa, yang tak bisa ditukar apapun selain bermain bersama.
Bermain ular tangga versimu dan aturanmu memang menyenangkan. Tak ada tipu kecurangan apalagi berpikir taktis yang melelahkan.
Sesekali engkau berceloteh sambil melempar dadu. Tak bosan kau jelaskan hal yang ku sudah tahu.
Tanpa terasa, ayahmu yang memang selalu menang permainan. Mendahuluimu masuk finish dan berteriak “hore, abi menang!”
Engkau membuatku tertegun, lalu memberi sebuah pelajaran.
“Abi, ini bukan tentang menang-kalah, ini cuma permainan. Tapi, yang finish harus menunggu yang belum finish”.
Jadilah ayahmu menunggu sembilan lemparan dadumu. Entah kenapa, aku lalu ingin memelukmu, iri dengan dirimu. Engkau tak menganggap dunia beban, bagimu semua cuma permainan
“Nah, sekarang alila sama abi sama-sama di garis finish”. Sekarang ada kelegaan di raut wajahmu.
“Abi, besok main lagi ya”, sekarang giliran aku tertegun.
Hampir-hampir tadi aku tak mau meladeni permainanmu. Hampir-hampir tadi keberadaanmu jadi gangguan bagiku.
Hampir-hampir ayahmu berbuat sesuatu yang kelak disesali masa. Mengabaikan diriku saat ingin engkau memerlukanku, menginginkanku.
Engkau mengingatkanku apa arti ayah bagi anaknya. Ayah tak harus selalu mencukupi, tapi ayah harus selalu menyemangati.
Ayah tak harus selalu di depan, tapi ayah harus selalu menjaga di belakang. Ayah tak harus selalu di depan, tapi ayah selalu di sampingmu.
Sekarang pipi kananmu bersandar di dadaku dan tanganmu melingkar di pinggangku. Namun berapa lama lagi ayahmu menikmati semua ini?
Satu saat nanti aku akan merindukanmu merepotkan diriku. Sebentar lagi aku akan merindukan panggilanmu, “abi, main yuk”.
Ayah tak perlu punya harta, karena engkau perlu hanya waktu. Ayah tak perlu pintar bicara, karena yang kau pinta hanya bersama.
Dan paling membanggakan bagiku atasmu, saat engkau ditanya seperti apa pasanganmu kelak? Dan engkau menjawab, “seperti abi”.
@FelixSiauw
Mataku perlahan membasah saat mengetik ulang huruf demi huruf di atas. Jari-jariku lincah menari di atas gadget hitam kesayanganku ini. Sekian lama menyombongkan diri sibuk dengan urusan kantor, aku memaksa menyempatkan diri mampir ke tanah twitter, menyambangi beberapa akun favorit. Gerakan jariku berhenti saat membaca postingan ustadz Felix Siauw di atas. Otakku langsung merespon cepat. Tulisan indah ini, harus melahirkan satu tulisan lainnya. Walau tak bisa seindah tulisan beliau. Kagum sekali dengan cara beliau menulis. Sederhana, tapi mengena.
Berputar kembali memoriku ke masa kanak-kanakku dulu. Mengingat detik-detik kebersamaanku bersama bapak. Semesra itukah keakrabanku dengan beliau? Aku ingat, dulu bapakku adalah tipe karyawan yang amat sangat rajin dan setia pada perusahaan tempat beliau bekerja. Bapakku berangkat pagi-pagi dan pulang di kala malam menjelang. Terkadang beliau masuk juga di hari sabtu dan minggu. Jika sedang libur, aku suka mengintili beliau jalan-jalan. Tujuanku satu, menggerakkan bahasa tubuh pertanda minta dibelikan buku. Bapak tahu pasti, aku sangat suka membaca.
Jika bapak pulang lebih awal, bapak terkadang menemaniku belajar. Jika semenjak balita ibu yang sangat berperan mengajariku membaca, menulis, dan berhitung, saat aku mulai duduk di bangku SMP, bapak yang membantuku mengerjakan PR. Tapi seringkali aku mencoba menyelesaikannya sendiri karena kalau bapak yang mengajari, jadi tidak nyambung. Suatu kali, aku hanya minta diajari mengenai persamaan kuadrat, entah mengapa penjelasan bapak menjadi melebar dan meluas ke persoalan nuklir. Kalau sudah begitu, dahiku akan langsung berkerut-kerut dan rasanya ingin segera menyudahi sesi belajar kali itu.
Bapakku bukanlah sosok yang sempurna. Bapak punya watak yang keras, terkadang mudah sekali marah, tapi beliau pintar. Aku tahu bapak menyayangiku dan aku menyayanginya. Bapak sangat menyayangi cucu-cucunya, putra-putriku dan putra-putri kakakku. Aku, kami semua tak pernah menyatakan kasih sayang itu lewat ucapan ataupun pelukan. Kami tidak terbiasa mengekspresikan ungkapan kasih sayang. Tepatnya, tidak dibiasakan. Tidak ada kemesraan, tidak ada keromantisan.
Kepada putra-putriku aku mengajari mereka mengungkapkan rasa kasih sayang lewat ucapan, belaian kepala mesra, atau pelukan hangat. Sungguh tak tergantikan, mendengarkan putraku bicara “mama sayang adil, adil sayang mama”, sambil memelukku erat-erat. Ada kalanya aku kesal, saat tugas kantor harus kuselesaikan saat itu juga di rumah, tetapi putraku merengek-rengek terus, “mama, ayo temani adil main”, dan rengekan itu tak akan berhenti hingga aku benar-benar berada di sisinya, menyusun lego demi lego membentuk bangunan gedung, di antara jejeran kendaraan alat beratnya. Atau, rengekan dari putriku, “mama, ayo nonton upin ipin”. Entah, berapa jam dalam sehari serial upin ipin ditonton olehnya.
Tapi itu aku, ibu, mama mereka. Menemukan rintik-rintik hati pemilik tulisan indah di ataa, dua hal yang terlintas di dalam pikiran dan merasuk ke dalam hatiku adalah bagaimana hubunganku dengan bapakku dan hubungan anak-anakku dengan ayah mereka. Jika pemilik nada indah di atas akan merindukan, putrinya berkata “abi, main yuk”, maka akankah putra-putriku rindu berkata “abi, main yuk”, atau “papa, main yuk”, atau “ayah, main yuk”, atau “bapak, main yuk”? Atau, akukah yang merindukan mereka mengatakan itu?
Allah, bantu aku menjawabnya.
The happier me (the happier mom, struggling to create the happier kids)
-Melina-