Model sepatuku begitu-begitu saja. Aku lebih suka sepati kasual. Aku punya sepatu selop berhak 5 cm yang cantik – tapi menurutku jadi salah satu pemicu stress. Bagaimana tidak? Aku harus berjalan ekstra hati-hati kalau tidak ingin jatuh terjungkal. Aku suka berjalan cepat dengan langkah kaki panjang-panjang. Alas kaki berhak tinggi sungguh memenjarakanku. Tak peduli apakah aku jadi feminin atau tidak. Bagiku rok panjang dan kerudung yang kukenakan sudah cukup menunjukkan bahwa aku perempuan. Aku juga punya sepatu wedges dari merk favoritku. Walau bicara merk, jangan anggap harganya selangit ya. Aku cukup pintar mengatur keuangan dengan menahan nafsu belanja. Kalau kalian pernah bertemu denganku dan mendapatiku mengenakan sepatu bukan dengan ciri-ciri di atas, bisa dipastikan aku meminjam sepatu orang, hehehe…
Dari jejeran rak pertama, aku berpindah ke lorong berikutnya. Tak ada satu model pun yang kusukai. Aku malah sibuk bercanda-canda dengan teman yang menemaniku sore itu. Sungguh aku bingung bagaimana makhluk bergender perempuan dapat begitu tergila-gila pada kata “shopping”. Aku juga perempuan, tapi aku tak suka belanja, dan aku tak suka pusat perbelanjaan. Tempat itu membuat aku pusing luar biasa. Sungguh jauh lebih menyenangkan berjalan-jalan di kebun binatang dibandingkan dipaksa menatapi maniken-maniken berbusana aneka rupa, lampu-lampu gemerlapan, senyuman para pramuniaga toko yang berharap-harap cemas, atau berbagai macam jenis manusia bernama pengunjung yang keluar masuk di dalamnya.
Aku tak tahu kondisi seperti apa yang dapat membawaku ke pusat perbelanjaan dengan hati penuh ikhlas dan mampu bertahan berjam-jam di dalamnya. Bahkan untuk kondisi sekritis tadi pun aku rasanya ingin segera pulang. Di suatu sore saat secara tak sengaja aku mengangkat kakiku dan mendapati bagian bawah sepatuku yang berbahan kayu, terbelah sempurna. Mirip sekali dengan rekahan tanah sehabis longsor atau gempa. Mungkin saat sepatu itu benar-benar patah, aku akan mengunjunginya lagi.
The happier me
-Melina-