Bukan … Biasa (Bagian 1)

2012. Menjadi titik awal perubahan. Bukan perubahan yang signifikan, memang. Tapi setiap inci gerak pada kebaikan, tak bisa dipandang sebelah mata. Aku mencari jejak menuju langkah itu. Memberanikan diri mengenal lebih banyak orang di luar sana. Mengikuti seminar ini dan itu, hadir di workshop ini dan itu, membaca buku ini dan itu. Sampai ‘mengintip’ perjalanan aksara setiap tokoh ternama. Kemudian ‘mencuri’ ilmunya. Maaf, tapi aku yakin mereka malah suka.

2014. Pena dan aksara datang menggoda. Bukan kali pertama. Sudah sejak lama kemudian terlupa. Mengendap, menapak, memasuki sebuah rumah bernama Komunitas Bisa Menulis. Indah, aku seperti tengah menautkan rindu. Pada dunia yang kucari terang di dalamnya. Ah, kenapa baru sekarang? Baru bertemu, atau baru kucari? Hahaha, lupakan saja. Kini aku menikmatinya.

Masih di 2014, aku ingin ikut serta dalam kelas kepenulisan asuhan Pewski, “Menulis Dengan Hati”. Bandung, terasa begitu jauh kala itu. Berbekal pesan balasan bahwa kelas hanya akan diadakan di sana, aku memilih melepaskannya. Selang beberapa waktu lamanya, sebuah pesan via BBM broadcast mengabarkan kelas menulis lainnya. Masih di Bandung, rupanya.

Ini gila! Aku malah mendaftar kala itu juga. Kamu tahu di mana gilanya? Ini di Bandung, dengan biaya yang jauh lebih mahal. Tapi langkahku toh bergerak ke sana. Tak pernah absen, meski – hahaha – hanya satu kali tidak terlambat. Kembali ke Pewski yang di awal bertemu sering berkata, “Allah sudah mendesainnya.” Betul, kan? Ini rancanganNya yang tak terduga.

Aku sempat marah dan kecewa pada diri sendiri. Sudah membayar mahal – memang tidak sampai milyaran – tapi kan bayarnya pakai uang. Berkorban waktu, tenaga, dan waktu bersama tuan muda dan nona kecil. Tapi naskahku tidak juga terlihat batang hidungnya. Jangankan itu, mentorku mungkin juga kesulitan mencium aroma aksaranya. Hiks, please forgive me, myself.

Tapi eh tapi, sang mentor ternyata masih sayang. Diberinya lagi aku kesempatan. Sebuah program bertajuk ‘Writing Heroes’. Berminat? Ya. Segera menulis? Tidak. Akhirnya ikut? Ya. Kapan menulisnya? Dua hari sebelum jadwal ditutup. What?? Iya, naskah baru dikirim sebelum tengah hari. Terlalu, kamu! Betul. Kuakui aku memang terlalu. Kalau masih hapal, kepalaku mau bernyanyi lagi jadul milik Kirey yang berjudul ‘Terlalu’.

Berharap masuk nominasikah? Oiya, dong. Setiap usai sholat, disebuuut terus. Lagi-lagi tak tahu malu sama Yang Di Atas. Yah, namanya juga manusia biasa. Plak! Lalu, hasilnya bagaimana? Alhamdulillah, masuk 25 besar. Tapi, lho, lho? Kok ada nama yang semestinya sudah masuk kategori ‘penulis beneran’ ya? Aku kan masih jadi-jadian.

Aih, ke mana perginya rasa percaya diriku? Maka, diumumkanlah agenda bertemu untuk mematangkan semuanya. Sudah senang-senang, bikin pengumuman ke penjuru negeri, ujian datang. Nona Kecil sakit. Sedih. Masih ingat kubawa ia ke rumah sakit pukul 1 dini hari. Dobel sedihnya. Seorang sahabat keren di Cilacap mengecamku ‘durhaka’ jika tetap berangkat. Baiklah, pasrah saja. Mungkin ini yang terbaik. Mungkin dengan demikian, aku diberikan waktu menyelesaikan naskah novel untuk ‘direstui’ oleh mentor tercinta.

Di tengah proses, gubrak! Urusan kantor lagi-lagi membuatku terpana. Ada saja yang memerlukan perhatian ekstra. Amanah oh amanah. Mau tidak mau, fokusku berpindah sementara.

Di suatu malam, tring! Mbak cantik membawa kabar yang bikin penasaran. Japri dong. Mataku kedip-kedip akhirnya ditawari ikutan Writing Heroes batch pertama. Whuaaa! Langsung deh ajak Nona Kecil lonjak-lonjak di tempat tidur. Waktu itu sudah sembuh, lho. Kelakuannya ya, emak-emak yang kayak anak-anak.

Janjian ketemu, batal. Sempat deg-degan, yaa… jangan-jangan nggak jadi, nih. Tapi, akhirnya jadi juga tuh. Baru dapat tema, pikiranku sudah mengangkasa. Terbang jauh ke tanah Papua. Lho, apa sih temanya? Di postingan berikutnya saja. Kepanjangan, nggak asyik. Padahal sih kaki pegal karena kereta tertahan. Beginilah nasib kalau Jakarta diguyur hujan. Aku masih berdiri di kereta. Tiba di Bogor entah jam berapa.

Lanjut kisah ‘El’ dulu, ah. Siapa lagi, tuh? Sudah, jangan banyak tanya. Nanti juga kuberi tahu :). Kalau mentorku sih pasti tahu. Semoga masih ingat ya, Mas.

 

@GerbongKeretaApi (gelap, nggak menyimak halo-halo petugas, jadi nggak tahu sudah sampai mana)

 

The Happier Me,

-Melina-

Leave a Comment