“Mama besok masuk, nggak?”
“Mama hari ini pulang jam berapa?”
Terkadang telingaku ‘bosan’ mendengarkan pertanyaan-pertanyaan itu. Kurang lebih sama isinya, berulangkali diajukan, pada hari yang sama, jam yang sama, menit yang sama. Dalam setiap menit itulah pertanyaan itu terlontar, lagi, dan lagi. Tidak perlu heran, begitulah anak-anak. Suka sekali mengajukan pertanyaan berulang meskipun jawaban sudah dilontarkan juga oleh yang ditanya.
Kesibukan mengurus perusahaan sukses membuatku kehilangan kesibukan mengurus buah hati. Terlebih lagi dua bulan terakhir. Sebuah proyek jangka pendek yang cukup besar harus segera diselesaikan. Masih ditambah dengan segala aturan dan kebijakan baru dari pemerintah yang nyaris membuatku ingin berteriak sekencang-kencangnya. Tapi baru sebatas keinginan. Anggap saja karena belum menemukan tempat yang pas untuk itu. Tanpa menarik perhatian khalayak ramai tentunya.
Minggu kemarin, nona kecil dibawa eyang uti ke rumah budhenya. Pengasuh keponakan tidak datang ke rumah untuk menjaga seperti biasa. Alhasil, eyang tuti dan eyang kakung bagi-bagi tugas. Eyang utinya bersama nona kecil ke rumah budhenya-kakakku. Sementara tuan muda tetap di rumah bersama eyang kakungnya dan aku.
Praktis, tiga hari aku tidak bertemu nona kecil yang cantik itu. Parahnya, rinduku tak sempat melambung. Terjun bebas lagi akibat tuntutan pekerjaan yang dalam situasi gawat darurat. Tenang saja, kan masih ada tuan muda di rumah. Eh, ternyata oh ternyata, keberadaanku di rumah hanya raga saja. Pikiranku total tercurah ke layar hitam itu beserta kertas-kertas yang berserakan di sekelilingnya. Putra sulung bermata bulat dan berpipi telur itu akhirnya hanya kujadikan guling saat tidur. Tiba di rumah saat ia mungkin tengah bermimpi (semoga mimpi indah). Aku berangkat kerja ketika mimpi (indahnya) itu belum lagi usai. Keberangkatan terpagi pada pukul 03.30. Betul-betul serasa mengejar pesawat penerbangan pertama.
Ada sih, dua hari bertemu dengan tuan muda. Beberapa menit sebelum aku berangkat di pagi buta itu. Tanpa rengekan atau tangisannya, tapi malah membuatku tak berarti di matanya. Tiba di tempat tujuan, aku meneleponnya dan melelehlah air mata mendengar responnya. “Udahlah, Mama nggak usah telepon-teleponlah.” Hiks, hiks …. sakit tuh di sini. Tapi tak perlu protes tentunya. Besar kemungkinan tuan mudaku akan menjawab, “Mama yang memulai, Mama yang menyakiti.”
Jumat malam akhirnya aku berjumpa dengan nona kecil. Tak terkira melihat reaksinya. Dari kamar, ia membuka pintu. Kaki-kaki mungilnya melangkah cepat, menerjang, memeluk ibundanya erat. Kuangkat ia tinggi-tinggi, mengajaknya berputar. Tawa riangnya mengalahkan alunan musik manapun. Tanpa dikomando, ia menciumiku bertubi-tubi. Kening, pipi, mata, alis, pelipis, rahang, bibir, berulangkali. Dalam gendonganku, ia membawaku keliling rumah. Pada anggota keluarga yang lain, ia dengan bangga memamerkan ibundanya ada. “Ini Mama Eta. Atu (aku – maklum masih cadel) Janita (tulisannya Janeeta) Satinah (lagi-lagi karena masih cadel).” Beberapa hari tak bertemu, terkesima mendengarnya menyebut nama lengkapnya sendiri. Subhanallah ….
Pada tawa mereka, aku tahu mereka bahagia mamanya ada. Pada rengekan manja mereka, aku tahu mereka ingin aku merayu. Pada tangisan mereka, aku mengerti betapa sang mama begitu berharga. Peluk cium untuk yang tercinta. For all things arising by them, I know because they love me. For everything they do, they love me, I know.
The luckiest mom in the world
The happier me,
-Melina-