***
Pelarian
Aku terbangun dari tidur yang sama sekali tak nyenyak dengan lelehan keringat. Heran, bahkan di kota hujan seperti ini pun, dingin udara enggan menyapa. Betapa kemarau telah menjauhkan angin dari gigil. Bumi benar-benar tengah dalam kondisi koma. Tujuh tahun yang lalu, saat pertama kali tinggal di sini, dingin udara pukul 5 sore sudah menikam penghuninya untuk segera menutup pintu dan jendela. Beranjak tahun, dingin baru menggigit di pukul 1 dini hari. Kemudian berlalu kala adzan subuh belum lagi berkumandang.
Tapi bukan udara panas yang membuatku tidak bisa memejamkan mata. Hari ini aku akan melakukan sebuah perjalanan. Seperti biasa, selalu begitu setiap kali akan melakukan perjalanan ke luar kota. Entah karena khawatir terlambat bangun, sesuatu tertinggal, perjalanan tidak berjalan lancar, dan lainnya.
Thanks to all, yang memberi jalan untuk perjalanan ini. Membuat benakku menciptakan gerbang pelarian bersama mereka. Siapa saja?
Namaku Bum. Jangan coba-coba tanya artinya sebab orangtuaku pun tidak tahu. Terang saja, bukan mereka yang memberikan nama itu. Kalau sudah dalam kondisi tertekan, seringkali mengalami undetectable feeling. Kondisi ini bisa memaksaku melakukan hal-hal tak terduga. Resiko ditanggung sendiri.
Ada Pay, si-mister-perfeksionis-yang kalau berbicara bahasa Indonesia, aksennya terdengar agak-agak bule di telingaku. Well, mungkin karena banyak menghabiskan waktu di luar negeri. Julukan Pay-the perfectionist-man kusematkan bukan tanpa sebab. Tentunya bukan karena dia sempurna, ya. Nobody’s perfect, kan? Apalagi dengan fakta bahwa dia cukup terganggu dengan uban-uban centil dan the-three-months-pregnant-stomach-nya itu. Alasan utamanya karena dia memang maunya melakukan segala sesuatu secara sempurna. Meski jadi terkesan lama, lambat, yang menunggunya pun sampai bosan.
Oh, it reminds me of the-three-hours-shocking-shopping-with-him. Di toko yang sama, lho. Saking hati-hatinya itu karena tidak boleh tidak sempurna alias (di kepala saya, ya) jangan sampai kembali lagi ke toko itu karena ternyata barang yang dibeli rusak, lecet, dan sebagainya. Setidaknya dia masih sempat ‘permisi’ dulu untuk belanja lama dengan kalimat-kalimat ini.
“Sabar ya, saya kalau belanja memang lama.”
“Maaf ya, sudah ngantuk, ya?”
“Maaf ya, lapar?”
Dan, aku hanya bisa mengangguk-angguk, menyandarkan tubuh dan kepala, pasrah oleh hantaman rasa lapar dan kantuk.
Agak bingung juga menceritakan siapa the sexy lady ini. Panggil saja Buz. Pertama kali bertemu, aku tahu dia orang yang menyenangkan. Punya jam terbang tinggi dalam hal pendakian tapi tidak pelit informasi. Gayanya pun jauh dari sok tahu. Duduk di depannya, aku seperti anak kecil yang tekun mendengarkan nasehat ibu guru. Asiknya, dia agak-agak abnormal juga. Dalam arti, bisa diajak gila, suka bercanda, bisa diajak tertawa lepas.
The-sexy-lady satu ini lumayan berani ambil resiko juga, agak-agak mirip denganku yang, ya … terkadang sedikit bandel. Buktinya, di pertemuan pertama kami saja, dia berani coba-coba meninggalkan rapat kantor yang sudah mau dimulai saat kami baru saja selesai makan, tapi belum selesai ngobrol ke sana kemari. Bahkan saat keempat kaki kami meninggalkan Chicken Story-pun, dia malah asyik pergi belanja (gagal beli roti karena kehabisan crazy promonya Bread Talk) lalu berkelana mencari bra, ooppss #sensor.
Agak sedikit iri dengan Buz yang menurutku tidak cantik tapi gayanya seksi. Enak dilihat. Ini tidak ada kaitan dengan statusnya yang merupakan mantan artis yang masa kejayaannya belum berlalu, sebab teraih saja belum. Bahkan salah satu orang keren dalam daftar hidupku pernah punya tagline bahwa “Smart is Sexy”.
Tim kami dilengkapi dengan The Boys yang-sejak pertama kali bertemu-kepalaku langsung bergerak mengucapkan, “Ya ampun, bocah-bocah banget ini.” Mungkin karena wajah mereka berdua yang masih imut-imut atau karena aku tahu persis usia mereka masih berada jauh di bawahku, Buz, apalagi Pay. Ada Boim yang merupakan adik kandungnya Buz. Wajahnya ganteng sih tidak, tapi dia mengantongi wajah laki-laki baik-baik. Eh, ini gelar bagus sekali, lho. Bukan karena Boim ini irit bicara, ya. Bukan pula karena dia tidak pernah tertawa lepas (seingatku) alias cuma senyum-senyum saja. Tapi ya begitulah menurutku. Semoga bukan hanya ramalan benakku saja.
Nah, satu lagi ada Iden yang aduuuh … the youngest di antara kami berlima. Kalau bocah (maaf ya bocahnya harus disebutkan dengan jelas di sini) ini sih dari wajah, gaya bicara, tingkah laku, memang menunjukkan dia bocah sejati. Apalagi kalau mendengar dia bicara, duh … polos betul. Masih ditambah pula dengan lidahnya yang Betawi sekali. Kalau Boim sukanya senyum-senyum, nah kalau Iden sukanya cengar-cengir. Cocoklah mereka sepupuan. Memberi warna pelarian ini.
***
Petualangan
Petualangan telah dimulai. Aku membuka mata di pagi buta, seperti biasa. Malam pertama pelarian yang sukses membuatku tidak bisa tidur. Kombinasi antara gigil yang luar biasa, suara gemerisik matras Buz yang tidur di sampingku, suara dengkuran dari tenda di sebelah, dan kaki-kaki yang berdatangan mendekati tenda di tengah malam.
Aku tidak pernah membayangkan akan mendaki gunung suatu hari nanti. Tidak ada keinginan, meski tak ada penolakan juga. Hanya tidak terbayangkan, itu saja. Hari ini, lembaran kosong itu akan terisi. Sebuah perjalanan yang menciptakan gegap gempita di kepala jauh hari sebelumnya. Ini aneh, lucu, tidak terduga. Membayangkan pergi berjam-jam lamanya, menciptakan hari, tidur, makan, bersama orang-orang yang baru dikenal.
Perlahan kaki-kaki kami menjejak tanah coklat berpasir dengan pemandangan pohon teh di sisi kiri dan kanannya. Sungguh, ini sama sekali tidak mudah. Menjaga keseimbangan tubuh karena beban yang tak ringan di punggung, sekaligus mencoba menahan dengan kaki yang karena tanahnya berpasir, bibirku sibuk merapal mantra, “Jangan tergelincir, jangan tergelincir.” Pada jalanan yang menanjak, rimbun hutan pegunungan terhampar pongah di depan mata. Jangan tertawa jika kukatakan terbayang ada seekor kingkong di dalam sana.
Medan yang harus ditempuh sama sekali tidak terduga. Aku membayangkan berjalan di tanah coklat berumput yang setengah basah oleh embun, menanjak sewajarnya, atau sesekali bertemu mata air. Ini benar-benar petualangan! Gunung ini seperti pohon berakar dan berbatu yang diselimuti hutan. Merayu kaki-kaki pendaki bergerak memanjat. Beruntung, aku cukup jago untuk itu.
Petualangan ini jauh lebih melelahkan dari yang kuduga. Mau tidak mau sebentar-sebentar berhenti, sekedar untuk mengatur napas, dan meneguk sedikit air. Silakan tertawa, kupikir yang namanya pos itu memang berupa bangunan bertembok, bergenteng, bisa berteduh di dalamnya. Eh, ini hanya berupa plang dengan tulisan saja. Oh! Perjalanan dari Pos 2 menuju Pos 4 benar-benar luar biasa. Terus menanjak, terus memanjat. Pertengahan Pos 5 tenagaku nyaris habis. Sungguh, ingin rasanya mendekati mendekati Pay atau Buz-Boim dan Iden sudah melesat lebih dulu- dan berbisik, “Saya capek. Udahan aja, deh.” Kalau bisa malah sambil memasang wajah memelas supaya dikabulkan.
Tapi berjuta hal lalu-lalang di kepala. Aku terbiasa memimpin di garis depan. Aku terbiasa berjuang sampai titik darah penghabisan (ini hiperbola) untuk mendapatkan apa yang kumau. Aku sudah berjanji tidak akan manja, tidak akan menyusahkan siapapun. Menyerah berarti kalah. Menyerah pada pendakian pertama ini bisa menyumbangkan malu seumur hidup. Maka, kurayu lagi kaki-kaki melangkah.
Hingga, perjuangan ini berbuah manis. Ketika Buz berkata bahwa di puncak kami akan bertemu dengan negeri di atas awan, kepalaku malah membayangkan seorang Katon Bagaskara. Aku pernah jatuh cinta pada putihnya awan dan birunya langit. Usiaku mungkin baru 5 tahun saat itu. Membayangkan mempunyai rumah dengan lantai bernuansa awan dan langit supaya seperti berjalan di atasnya. Siapa sangka, puluhan tahun kemudian, mimpi itu terhampar di depan mata. Banyak hal yang berlarian di kepala. Ini seperti negeri dongeng. Ada Nirmala, Oki, Ratu Bidadari, semua tokoh yang ada di majalah Bobo. Ini juga seperti melompat dari jendela pesawat, berdiri di sayapnya, tangan tergilitik menjumputi awan. Atau, juga seperti berdiri di tepi pantai, menatap gulungan ombak, dan bayangkan saja jika air laut berwarna seputih susu.
***
Proposal dari Langit Malam
Saat berada jauh dari rumah, hanya berteman orang-orang yang dengan mereka aku menghabiskan waktu, rasanya terlalu sulit menyimpan rahasia. Belasan tahun lalu, pernah mendengar istilah seperti ini, bahwa kita akan benar-benar mengenali orang yang dengannya kita pernah menghabiskan malam bersama. Meski baru setahun lalu, seseorang juga pernah berkata bahwa, sedekat apapun kita dengan seseorang, jangan pernah menganggap kita tahu segalanya tentang dia.
Tidak ada yang salah dengan pendapat keduanya. Nyatanya, kami memang jadi tahu satu sama lain. Buz yang-kurasa otaknya sering korslet-makanya pikirannya ngeres terus. Lain kali harus dibawakan cairan pembersih dan kanebo. Pay yang hobi ngeles cedera ini-itu supaya dimaklumi jalan paling belakang. Hebatnya, selalu pakai kalimat pembelaan, “Kan saya jadi sapu jagat.” Aku yang setengah mati takut laba-laba. Pay, Buz, Boim, dan Iden yang tak henti buang angin setiap dua menit, sementara aku memilih mengekspresikan masuk angin dengan sendawa. Boim dan Iden yang makannya, woila … membentuk cikuray lain di atas piring saking banyaknya. Tapi love both much yang berbaik hati berkata masakanku enak, entah jujur atau tidak. Selama ini tidak ada orang yang berani memaksaku memasak, apalagi disertai ancaman tidak diajak naik gunung berikutnya, diselingi komplain usil soal cara memasak, mengiris bawang, dan sebagainya. Tapi Pay dan Buz berhasil melakukannya hingga aku gondok sekali ingin mencekik mereka waktu itu.
Pelarian dan petualangan ini menciptakan sesuatu yang menakjubkan. Justru ia kutemui di awal perjalanan. Kondisi jalanan yang dan menikung tajam-menurut penduduk sekitar-membuat kami sepakat meninggalkan mobil di bawah lalu melanjutkan perjalanan dengan mobil bak terbuka. Selain itu, kurasa pemiliknya juga tak rela si mobil lecet mencium apapun yang mungkin ditemui di atas sana. Seru sekali, tengah malam, duduk ramai-ramai di bak terbuka, menengadahkan kepala ke langit malam.
Dan, ini indah sekali, pada ketinggian ini seolah-olah bintang bisa tergapai oleh tangan. Meski sesekali harus kugosok-gosokkan telapak tangan untuk mengusir gigil. Brrr … mataku sempat melirik Buz, Boim, dan Iden, yang mengenakan celana selutut. Gila, nggak kedinginan apa? Keempatnya asyik bercengkrama dan tertawa. Entah apa, aku tidak menyimaknya.
Pikiranku mengelana sendiri menuju ke langit malam. Taburan bintang itu mengingatkanku pada bubuk deterjen yang ditumpahkan pada selembar kain hitam. Titik-titik itu terus berpendar, menciptakan cahaya yang menyemarakkan malam. Kesempatan ini tidak boleh terlewatkan. Netraku terus berlari dari satu bintang ke bintang lainnya. Hampir tak ada jeda. Hingga kemudian satu ruang sempit terbentang, diapit gemintang. Kanvas. Sesuatu luruh dari langit. Aku tersenyum. Mungkin tak ada yang menyadarinya malam itu.
Cerita ini masih tak berjudul. Bahkan seorang Oddie Frente pun pernah menyelesaikan sebuah naskah dan masih tak tahu akan diberi judul apa. Premis, sinopsis, dan outline sepanjang 25 bab untuk naskah ini sudah memperoleh restu dari Hengki Kumayandi.
Sedikit bocoran dari atap naskah. Opening Bab 1.
Elang. Nama itu kusematkan untuk sebuah wajah yang tercipta di antara jutaan bintang. Aku masih bisa mengingat malam itu. Saat langit membentang luas di depan mata. Begitu dekatnya, seolah hanya berjarak satu jengkal. Warna gelapnya tersembunyi oleh titik-titik berkerjap. Ia berpendar, bertaburan, memenuhi langit malam. Menarikan benakku lukiskan seraut wajah tentang harapan. Meninggalkan hari-hari kelam bersama dia yang lukiskan lukaku dan lukanya. Dingin udara malam itu tak ingin ajakku beranjak, tak peduli gigil memeluk erat. Kuas ini harus purnakan tarinya malam ini, melukis wajahmu di hamparan langit.
Azalia
Akhir Maret 2016 kucanangkan sebagai batas akhir penyelesaian naskah ini. Selesai ya, belum terbit. Sebab butuh waktu yang tidak sebentar sampai sebuah buku bisa terbit. Antrian pendaftaran ISBN di Perpustakaan Nasional saja ribuan setiap harinya. Failure to do this, traktiran makan untuk tim Cikuray! Semoga yang membaca ini mendoakan untuk tercapai, bukan mendoakan gagal supaya ditraktir makan J.
The happier me,
-Melina-