Salahku, tidak menyiapkan doping supaya bisa diterima oleh mereka. Sudah tahu tidak pernah berkecimpung di dunia anak-anak. Eh, malah pergi mengajar tanpa bekal.
Di tahun 2014, eh atau sudah di 2015, ya? Agak lupa tepatnya kapan sebab ini bukan hari yang indah untuk dikenang. Tapi bolehlah untuk dikatakan sebagai hari bersejarah. Kelak, akan kukabarkan pada anak-cucu bahwa dulu pernah ada seorang pejabat di sebuah instansi yang mengusirku keluar dari ruangannya dengan alasan yang tak jelas. Diusir? Betul. Diusir. Tidak ada kalimat lain yang pantas untuk menggantikan peristiwa memalukan itu. Untuk diketahui, aku bukan orang pertama dan satu-satunya yang mengalami itu.
Silakan dibayangkan manusia sekelas apakah beliau itu? Superman? Superboy? Spiderman? Iron Man? Hollow Man? Atau sebenarnya malah Ce-Men? Penolakan itu menyakitkan! Padahal sebelumnya aku sudah menelan doping untuk bertemu dengannya tanpa diusir. Memperdalam ilmu supaya kalau beliau tanya aku bisa menjawab dalam hitungan detik. Tetapi nyatanya, tidak membawa pengaruh. Baiklah, setidaknya aku sudah berusaha dan beliau beberapa bulan setelahnya tidak lagi duduk di ruangan itu. Jobless, katanya. Kasihan ….
Penolakan, penolakan, penolakan. Beragam bentuk tapi sama rasanya. Menyakitkan. Mungkin jika diukur kadarnya, akan sama sakitnya dengan sales yang menawarkan produk dan ditolak oleh calon pembeli. Atau, gampangnya, mengagumi seseorang, mengajak berkenalan, mengajak jalan, mengantar kesana-kemari, membelikan ini-itu. Saat menyatakan cinta, ditolak. Ugh! Kalau sudah begitu, uang yang sudah keluar untuk bensin kesana-kemari, beli barang ini-itu, bisa ditagih lagi tidak, ya? Kalau perlu malah minta uang ganti rugi pergi jalan-jalan ke Bali menyembuhkan luka hati. Sebuah peringatan bagi yang siap jatuh cinta, siapkan juga ruang untuk patah hati. Anggap saja ini doping supaya tidak lari ke dapur mengambil pisau lalu harakiri.
Sejak duduk di dalam kereta, netraku sudah merayu-rayu menuju mimpi. Mengantuk? Sangat. Mungkin akumulasi sebab aku memperlakukan tubuh dengan agak kejam. Tidur mendekati pukul 12 malam, bangun di pukul 1 atau 2 dini hari, terus lanjut sampai pagi. Demi menyelesaikan naskah. Sebenarnya tidak ingin memanjakan diri dengan berkata, “Duh, gue kan seharian sibuk di kantor, banyak meeting, banyak telepon sana-sini. Jadi nulisnya pas jamnya maling berangkat kerja, deh.” Ini memang soal waktu. Tapi lebih kepada, “Menulis pada dini hari itu seperti seperti membuka kran air di musim hujan.”
Pukul 23.11 saat email itu berdenting memasuki inbox. Benak masih saja memproses makna dari kalimat yang tertera di dalam email itu. Empat baris tulisan yang jika tertuang di atas kertas akan kulingkari spidol merah pada banyak tempat karena EYD yang memprihatinkan.
Aku jatuh cinta pada HPSH.
tetapi aku tak diperbolehkan terlena menikmatinya.
HPSH seakan adalah cerminan penulisnya, bahwa hidup itu lugas. Hidup itu tak perlu dinikmati.
Andai aku diijinkan terlena lebih lama,terbuai lebih mesra saat membacanya, tentu aku tak cuma jatuh cinta semata…
Mirip-mirip sebuah penolakan. Jangan terjadi, jangan putus, aku nggak siap. Ingin rasanya pagi segera menghampiri. Menanyakan langsung kepada yang terkait apa maksud pesannya semalam. Otakku sibuk berspekulasi. Apakah ini sebuah penolakan? Jika ya, sungguh, ini akan menjadi periode berdarah di tahun ini. Aku sudah terlanjur jatuh cinta, dan sama sekali tidak menyiapkan doping untuk kasus ini. Dalam bentuk pundi-pundi air mata yang bisa kapan saja pecah dan tumpah. Juga tidak dalam bentuk sebuah ruang bernama patah hati. Intinya, HPSH harus selesai. Maka, malam itu, jarum jam seolah kelelahan hingga di mataku ia bergerak terlalu lambat.
Sempat terpikir begini, “Jangan-jangan beliau karena sudah berhaji tidak mau lagi ya, mengurusi naskah cinta-cintaan seperti ini?” Huk! Padahal meskipun susah atau senang, menuliskan percintaan selalu menyenangkan. Tak ada habisnya.
Andai sahabat baikku yang kemilau itu tahu bagaimana aku merasa gagal waktu dia mengirim pesan melalui WhatsApp bahwa episode perpisahan yang kutulis kurang menyedihkan. Membaca ulang, berpikir, bagaimana supaya sedih. Aneka doping dicoba tetapi begitu sulit berkolaborasi dengan hati. Sampai akhirnya, terpikir untuk menelan saja lagu-lagu patah hati.
Tengah malam itu revisi selesai diiringi doping “Beda”-nya Gemala, “Selepas Kau Pergi”-nya Laluna, dan “Lembayung Bali”-nya Saras Dewi. Lagu terakhir sih bukan lagu patah hati, melainkan upaya mencoba membuat diri “kesurupan” Niluh, si tokoh yang memang asli Bali.
Pagi yang bergelimang cerita. Setelahnya aku tahu, bagaimanapun hebatnya, seorang Purnomo Sony, tidak ada apa-apanya denganku soal menuangkan perasaan ke dalam tulisan. Maksudnya apa, yang ditulis apa. Tega sekali dia membuatku melewatkan jam-jam tanpa lelap. Tapi ini adalah kehidupan, ketika kita tidak pernah tahu seberapa besar presentase keinginan kita akan dikabulkan Tuhan. Maka, tetap saja berusaha, tetap saja berjuang. Penolakan mungkin akan datang, mungkin juga tidak. Maka, siapkan saja dopingmu. Jikapun ditolak, dirimu tak akan tiba-tiba jatuh gila.
The happier me,
-Melina-
Catatan:
Untuk: sahabat, kakak, adik (lhoh … soalnya kadang-kadang seperti bocah), guru-Purnomo Sony, penulis buku “Karyawan Pun Berhak Kaya”. Komitmen kita masih sama, ya. Februari 2016, atau 100% gaji bulan itu kita sedekahkan.