Tagline yang biasa saya sematkan ini mungkin bisa menjadi perayu diri saat kepala rasanya sudah berada di kaki dan sebaliknya. Selasa penuh asa. Selalu ada harapan di setiap permasalahan, kan? Baiklah, mencoba berprasangka baik. Ada jalan keluar, ada jalan keluar. Hanya belum saya temukan. Itu saja.
Rasanya ingin menjewer telinga sendiri ya karena lagi-lagi saya sulit berkomitmen. Terlalu sering PHP pada blog ini. Kalau sedang bahagia, pura-pura lupa. Giliran sedang sedih, pulangnya ke sini. Ah, apa saya bilang? Sedih, resah, gelisah, patah hati, memang kondisi paling mendukung untuk menulis.
Orang ketiga? Ada apa dengan saya? Kenapa orang ketiga?
Sungguh saya bersabar diri untuk menuangkannya di sini. Sejak kapan? Sejak hari pertama saya berbaring di ranjang hidrolik rumah sakit dua minggu yang lalu. Syukurlah, perut tak nyaman saya bisa berkolaborasi dengan baik pada situasi rumah sakit yang nyaman. Hohoho, bukan karena saya penggemar, ya. Tapi memang saat itu adalah situasi opname ternyaman yang pernah saya rasakan. Tahu kenapa? Sebab tak satupun obat harus saya telan. Semuanya cukup lewat suntikan. Senang luar biasa. Duluuu, obat yang diberikan perawat akan saya masukkan ke dalam laci. Selalu begitu. Biar saja petugas kebersihan kebingungan saat pasien pulang, kok ya banyak obat di dalam laci. Sepertinya obat itu bukan penawar sakit. Buktinya, saya sembuh, kok. Pasien badung, ya J
Lantas, ada apa dengan orang ketiga?
Jadi ceritanya, ada teman-teman di grup WhatsApp saya yang saat itu memposting tulisan tentang orang ketiga ini. Membaca dari A-Z, saya refleks menganggukkan kepala. Jangan anggap remeh dia.
***
Lelaki kecil bermata bulat itu asyik bercanda, tertawa-tawa, sambil mengerjapkan mata yang dihiasi bulu mata lentik. Selalu begitu. Adaaa saja ulahnya untuk menghindari satu kata bernama ‘belajar’. Saya sih tidak terlalu peduli. Biarkan, usianya baru 5 tahun lebih. Biarkan saja dia bermain sepuasnya. Tapi di belakang saya, ada suara yang nyaris membuat telinga panas. “Kamu dulu nggak begitu.”
Memang tidak. Dia bukan saya-yang sudah lancar membaca di usia 3,5 tahun. Sehari-hari bacaannya harian Suara Merdeka dan tabloid Cempaka. Harap maklum jika menduga usia saya lebih tua dari yang sebenarnya. Mungkin kebiasaan itu membuat saya tua sebelum waktunya. Merasa dulu sudah berhasil mengajari saya membaca, menulis, berhitung, dengan luar biasanya, akhirnya perempuan yang membawa saya lahir ke dunia itulah yang mengambil alih tugas mengajari si bocah. Hasilnya? Sama saja. Malah semakin membahana dia bercanda.
***
Orang ketiga.
Itulah saya tiga belas tahun yang lalu. Saat pasangan suami-istri itu tidak sanggup mengatasi sang buah hati, sayalah yang ada di sana. Melakukan hal sederhana saja, datang dan pergi sesuai yang seharusnya. Sampai kemudian tak menyangka bisa dijatuhcintai setengah mati. Diseret-seret supaya menemani tidur, makan di mall bersama-sama, sampai menonton bioskop. Bahagia? Ya. Bagaimana tidak? Makan, minum, dan tiket bioskop gratis.
***
Sore yang nyaris pekat. Saat mendongakkan kepala, hanya hamparan karpet abu-abu terhampar di atas kepala. Setengah berlari, saya menggandeng tangan mungilnya memasuki rumah perempuan bersahaja itu. Enam puluh menit berlalu dengan air mata yang nyaris meletup dari kelopaknya. Samar menghilang nyeri di perut yang sudah menemani sejak selang infus terlepas dari telapak tangan. Dia, sungguh luar biasa. Fasih ia merapal doa yang saya bahkan tak tahu doa apa. Lancar ia membaca deret aksara yang kala di rumah malah ia sambut dengan memandangi saya sambil tertawa-tawa. Tanpa protes, tanpa ngeles.
Kami meninggalkan rumah itu, berjalan di gang sempit menuju jalan raya. Masih bergandengan tangan. Sesekali tetesan dari langit jatuh, mengalirkan dingin. Ada cemburu sekaligus lega. Perempuan itu berhasil. Dia adalah saya dulu. Orang ketiga.
***
Adakalanya kita harus bisa mengerti, memahami, dan menerima bahwa sehebat apapun kita, ada orang lain yang selalu kita butuhkan. Tidak peduli dulu saya bisa membuat bocah berambut keriting di empat belas tahun lalu itu cinta mati sampai tidak mau membuka buku bersama guru lain. Nyatanya, saya juga membutuhkan orang ketiga untuk putra tercinta. Bukan, saya bukan ibu yang gagal. Tapi menerima bahwa orang ketiga itu ada.
Saya mungkin tidak bisa memasak, ssstt … (ini sih bukan mungkin, memang iya) tapi urusan cuci piring, membersihkan rumah, mencuci, saat saya tidak di rumah, tentu ada orang lain yang harus turun tangan. Saya bisa menulis, ide di kepala banyak, saya menguasai EYD dengan baik, perangkat pendukung ada, tapi hanya orang-orang hebat di sekeliling yang bisa membuat jemari saya bergerak. Saya menguasai urusan kantor luar dan dalam, tapi ada puluhan pasang tangan yang tak bisa saya berkata saya bisa, tanpa mereka.
Jadi ingin membuat daftar orang ketiga yang tentu tidak bisa saya remehkan. Siapa orang ketiga di hidupmu?
The happier me,
-Melina-