***
“Untukmu.”
Sebuah bingkisan berbentuk kotak kuulurkan padanya. Ragu ia menerimanya. Bola matanya bergerak menuju mataku, menatap kado di tangannya, menatap mataku lagi, begitu terus. Bibir mungilnya terbuka, seolah ingin mengatakan sesuatu.
“A-Apa ini?” Akhirnya sebuah kalimat pendek teruntai dari bibir merah jambu itu.
“Kado untukmu. Selamat ulang tahun.”
Perempuan di hadapanku tersenyum sipu. Ia menutup mulut dengan satu tangan. Kurasa ia sendiri lupa ini adalah hari istimewa.
“Aku saja lupa.” Tuh kan, apa kataku? Ada sorak kemenangan dalam hati.
“Kok diam saja? Nggak dibuka?” Dalam hati aku merutuki sikap yang terlalu menuntut ini.
“Sekarang?”
Aku diam saja. Malah bingung harus berkata apa. Inginnya sih melihat perempuan itu membuka kado di hadapanku. Melihatnya suka dengan hadiah itu lewat binar mata yang sesemarak lampu kota. Kemudian menghadiahiku dengan sebuah kecupan. Ah, sudah-sudah. Malah jadi berkhayal.
“Terserah kamu.”
Perempuan itu menimang-nimang kado di tangannya. Beberapa detik kemudian, ia membuka pintu rumah lebih lebar, mempersilakanku masuk, mengajakku memasuki sebuah ruangan, dan menyempatkan diri meletakkan kado di atas meja. Kami bercakap ringan, sesekali ia tertawa. Aku suka melihatnya tertawa, sebab saat itu, aku akan melihat helaian rambut bergelombangnya luruh di pelipis. Hingga langkahku meninggalkan rumah itu, binar matanya untuk kado yang kuberikan, membias terbang.
***
“Kamu suka?” Aku menanti jawaban dari bibir mungilnya dengan hati berdebar.
Kepala perempuan itu mengangguk cepat. Sekumpulan rambut bergelombangnya jatuh bersamaan menyentuh pipi. Masih diikuti senyuman lebar dan tawa renyah menenangkan.
“Ini bagus banget. Makasih, ya.”
Tanpa kuduga, ia mendaratkan sebuah kecupan di pipi kiriku. Wajahku mungkin merona saat itu. Tapi bohong jika tak kukatakan bahwa seperti ada gelembung udara dalam dada karena bahagianya.
“Jangan cuma disimpan. Dipakai, ya.”
“Tas pemberianmu tahun lalu juga kupakai terus, kaan?”
Perempuan itu berkata dengan sedikit merajuk. Bukan pada usianya, tapi aku suka ia bersikap begitu. Seperti berkata bahwa ia milikku.
Sweater merah jambu itu nyaris selalu dikenakannya di sisiku. Menemani langkah-langkah kaki kami di trotoar yang bising oleh deru kendaraan. Kuraih jemarinya. Menautkannya di antara jemariku. Ia tidak menolak. Senyumnya terkembang. Angin sore menerbangkan rambut bergelombangnya, menampar lembut wajahku.
***
“Ka, apa sih arti aku buat kamu?”
Aku terhenyak mendengar tanya dari bibirnya. Tak langsung menjawab, mataku menatap wajah menunggunya. Wajah yang selama tiga tahun ini singgah dan tak hendak kubiarkan pergi. Lama ia mulai terganggu. Bola matanya berputar ke arah lain. Jemarinya memainkan kalung mutiara yang manis melingkar pada leher jenjangnya. Kado ketiga untuknya.
“Kok bertanya begitu?”
“Jawab aja.”
“Memangnya penting, ya?”
Wajah perempuan itu sedikit berubah. Rusuh terlukis di sana.
“Banget.”
Aku berdeham sesaat. Mulai mengatur kalimat untuk memulai.
“Kamu itu istimewa buat aku.”
Perempuan itu memperbaiki posisi duduknya. Menyimak dalam. Sikapnya membuatku gugup. Kuraih jemarinya erat. Menatapnya penuh rasa. Ia menatapku kembali. Pandangan matanya seolah masih menunggu.
“Lalu?”
“Lalu apa?”
Perempuan itu memperbaiki posisi duduknya lagi. Meski di mataku tak ada yang salah dengan itu sejak tadi.
“Lalu kalau aku istimewa apa?”
Aku terdiam. Mencoba mencerna maksud pertanyaannya. Atau, mencoba mencari tahu dari diriku sendiri?
“Yaa .. begitu. Duh, kenapa sih kamu tanya-tanya?”
“Sebab aku perempuan.”
Aku tertawa. Kurasakan kulit jemari kami tak lagi bersentuhan. Tawaku terhenti seketika.
“Ra …,”
“Aku serius, Ka.” Ada keluh dalam suara itu.
“Aku juga serius sama kamu.”
“Seserius apa?”
Dalam hati aku kesal. Aku harus bagaimana? Apa sih maunya Ra? Kenapa tiba-tiba menanyakan sesuatu yang tidak penting begini?
“Apa sih yang kurang dari aku?”
Perempuan itu diam saja. Dari raut wajahnya, sepertinya ia memang tidak ingin mengucapkan apa-apa.
“Aku nggak pernah lupa telepon kamu, aku nggak pernah absen jemput kamu, aku nggak pernah lupa ulang tahun kamu, aku nggak pernah pergi tanpa pamit sama kamu. Apa yang kurang?”
Wajah perempuan itu menegang. Cepat-cepat aku meminta maaf. Kurasa kalimatku bernada terlalu tinggi tadi. Ia masih diam. Matanya tak lagi menatapku. Beralih menatap hilir mudik restoran ini.
“Menurutmu nggak ada yang kurang?”
Salah. Ternyata ia masih ingin bicara. Aku mengangkat bahu dan kedua tangan ke udara.
“Lalu apa? Maksud kamu apa sih, Ra?”
Perempuan itu diam lagi. Diraihnya sebotol air mineral di atas meja, membuka tutupnya cepat. Sekejap saja, sebuah gelas terisi penuh. Meninggalkan buih-buih kecil yang kemudian menghilang. Tak seperti tadi. Kali ini ia meneguk segelas air itu dengan amat perlahan. Seolah ia takut air itu mengaliri kerongkongan dengan emosi dari kepalanya.
Setelah menarik napas perlahan, ia kembali bicara. Kali ini ia berpindah duduk, di sampingku. Kulit jemari kami kembali bersentuhan. Kalimatnya kembali seperti perempuan itu sebelum kami bicara hari ini. Lembut dan menenangkan.
“Ka …,”
“Hmmm …?”
“Kenapa sih kamu rajin telepon aku?”
Aku diam.
“Kenapa sih kamu juga nggak pernah absen jemput aku? Padahal kamu nggak jemput pun aku nggak akan marah, lho. Kamu kan juga sibuk.”
Aku masih diam.
“Kenapa sih kamu kasih aku kado setiap aku ulang tahun? Buatku itu nggak harus. Aku senang. Bahagiaaa sekali dapat perhatian dari kamu. Tapi aku ingin tahu.”
Aku masih juga diam.
“Kenapa sih kamu juga harus pamitan sama aku tiap kali mau tugas ke luar kota? Nggak harus bilang, kok. Meskipun kalau kamu bilang, aku merasa tersanjung.”
Lagi-lagi aku diam. Entah karena tak tahu jawabannya atau tak bisa mengatakannya.
“Ka ….”
“A-Aku nggak tahu, Ra.”
“Ka ….”
“Aku harus bilang apa?”
“Ka …, please …,”
“Aku nggak tahu, Ra. Sudahlah ….”
Empat kata saja yang kembali menjauhkan kulit jemariku darinya. Bukan hanya itu. Aroma rambut bergelombangnya juga perlahan menghilang, seiring dengan langkah kakinya yang semakin berlalu. Perempuan itu pergi. Bodohnya, aku masih saja termangu di sini. Tanpa upaya mengejarnya.
Kesadaranku datang. Kurenggut ponsel dari balik saku jaket dengan kasar. Menekan nomor yang selama ini berada di urutan teratas pikiranku. Sebuah nada tunggu terdengar, sekejap berhenti. Kutekan lagi, nada tunggu terdengar, terhenti lagi. Perempuan itu tidak ingin bicara denganku. Ia marah. Tapi untuk alasan apa? Kesalahan apa yang telah kulakukan? Ponselku bergetar. Sebuah pesan masuk datang.
Terima kasih untuk tiga tahun yang indah. Setiap hari aku menunggu suaramu di telepon, bahagia dengan setiap kejutan di hari ulang tahunku, senang kala melihatmu berdiri di pintu gerbang, dan tak pernah berharap kamu pergi tanpa pesan. Tapi lebih dari itu, aku menunggumu mengatakan cinta.
Ra
***
Satu bulan berlalu. Aku masih saja bergulat dengan kebodohan ini. Berdiri di dinding ruangan ini sambil menimang ponsel. Nomor yang selalu terpampang namun tak pernah lagi kutekan. Aku terlalu bodoh, atau takut? Lelaki yang membiarkan perempuannya menunggu sesuatu yang sesungguhnya aku punya. Cinta. Pikiranku masih saja bersikeras, bahwa cinta tak harus diucapkan.
The happier me,
-Melina-